Sunday, June 11, 2017

Surat Untuk Juni

Juni 2050,
Aku membuka kotak berwarna biru yang tersimpan rapi di atas lemari. Tampak dari luar, kotak ini berdebu dan usang. Ku buka dan ku lihat banyak kertas didalamnya dan beberapa benda yang tampak rapuh. Ku buka dan ku baca salah satu surat tertulis bulan Juni untuk bab memeluk rasa sakit.

Tentang Memeluk Rasa Sakit

Surat Untuk Juni
Cirebon, 3-4 Juni 2017

Bonjour Juin!
Apa kabar? Juni bagiku punya arti sendiri, tidak terasa kini sudah juni lagi. Juni datang dengan suasana yang berbeda dan siap menerima kenangan yang baru. Awal Juni kali ini disambut dengan rintik hujan di pagi hari dan semilir angin dingin, semerbak menebar wangi rindu.
Biarkan aku bertanya satu hal padamu, Juni : Bertemukah kau dengan sang puas dan atau benar senangkah rasa hatimu?
Dan biarkan aku memberikan satu pernyataan padamu, Juni : Non, rien de rien. Non, je ne regrette rien. Ni le bien qu’on m’a fait. Ni le mal; tout ca m’est bien egal.
Aku tiba di Stasiun Cirebon Prujakan siang ini dengan menggunakan kereta yang sama seperti setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu, tahun penuh warna, tahun penuh kebahagiaan. Entah mengapa kini pulang menjadi berbeda, pulang kini mengiris tajam dihatiku, perih, ngilu, ah semua itu tak lain karena disebabkan oleh kamu.
Ketika kini ku sadari bahwa kita tak lagi seperti dulu, bahwa diri kita telah terpisah jauh, bukan tubuh saja melainkan juga hati. Mengingat semua itu membuatku ingin menangis, bukan karena aku cengeng, ah ya mungkin saja bagimu aku cengeng, berlebihan dan apalah itu kata yang sepadan untuk menggambarkan tabiatku. Terlebih dari semua itu, mengingat kenangan kita yang pernah kita ciptakan bersama saat dulu membuatku seperti mengelupas bekas luka yang belum kering, perih, perih sekali.
Mengapa juga ini semua terjadi? Katamu, kau akan menunggu di titik 250? Katamu, kita akan bertemu lagi di stasiun kereta api? Katamu, katamu hanya kekata saja tanpa makna. Kamu spesies penghianatkah? Ya, penghianat kelas kakap, pembual nomer satu.
Kejadian hari ini membuatku merasakan déjà vu, karena tepat di tanggal 4 setahun yang lalu untuk pertama kalinya bertemu setelah dua tahun terpisah. Dengan menaiki kereta yang sama dan waktu yang sama membuatku seperti melihat ke belakang, ini mimpikah? Aku masih belum percaya bahwa pada akhirnya kita berpisah juga. Sepanjang perjalanan ini aku bertanya-tanya, ah resiko aku saja yang memang memiliki ingatan tajam sehingga semua memori tentangmu tak bisa ku lupa. Mengapa juga pada akhirnya kita berpisah? Mengapa kamu yang dulu mencintaiku kini berpaling dariku? Apakah dulu kau tak benar-benar mencintaiku? Namun, ku lihat dari matamu kala itu terpancar ketulusan. Lantas, mengapa kamu berubah begitu cepat? Wanita penggoda seperti apa yang berhasil mengalihkan aku dari hatimu? Lebih baikkah dia dariku? Ku rasa tidak. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan menjadi wanita seperti itu yang dengan seenaknya merebut kebahagiaan perempuan lain. Jika aku berkata demikian, maka kau akan membela wanita itu yang saat ini sudah menjadi kekasihmu. Ah payah! Lalu aku apa? Bedebah! Persetan dengan semua itu! Seseorang pernah berkata bahwa;”sebodoh-bodohnya kamu, jangan pernah rendahkan dirimu dengan merusak hubungan orang lain.” Maka, ku akan pegang teguh prinsip itu.
Ku juga pegang teguh prinsip tentang kepemilikan bahwa walaupun aku tak bisa memiliki apa yang aku mau, setidaknya aku tidak mati-matian merebut milik orang lain.
Juni tak lagi sama, juni telah memberi luka. Hujan di bulan juni benar-benar membuatku terguguh, langit abu-abu dan angin yang membawa semilir rindu, ah nampaknya alam benar-benar mengejekku. Juni tak seindah dulu, juni benar-benar kelabu karena tak ada kamu, juni membawa nyanyian sendu. Bahwa apakah kamu tahu tadi saat keretaku sampai, aku mengingat kejadian setahun yang lalu saat aku malu-malu bertemu denganmu. Kau tahu, kejadian tersebut seperti diputar kembali dan aku menyaksikan kita yang dulu. Mengapa aku begini? Imajinasiku yang terlalu tinggi atau kau dan kenangan kita masih terekam dan bertahta di sistem limbik otakku? Ku rasa itu perpaduan keduanya.
Aku ingin menangis, berteriak sampai histeris. Ini tidak adil! Teramat sangat tidak adil. Mengapa kau menghianatiku? Mengapa kau mengingkari janjimu? Mengapa kau menelan ludahmu? Mengapa dan mengapa, tanpa ku tahu apa jawabnya. Tempat ini menyimpan banyak kenangan, tentang pertemuan dan perpisahan kita yang ku pikir itu bukan perpisahan.
Aku rindu, sangat rindu, namun aku tidak pantas untuk merindukanmu karena kau bukan milikku. Namun, aku juga berhak merindukanmu, selama kau belum sah menjadi miliknya. Ku merindukan juni kita yang penuh cerita, yang penuh canda tawa, yang bahagia, yang penuh dengan... cinta. Juni dimana kita tertawa, tersipu malu, menghabiskan waktu, memandang langit malam yang dihiasi padang bulan, ah ingatkah kamu? Kala itu sungguh indah, hingga alam pun bersuka cita. Aku tidak akan pernah melupakannya, biar saja itu semua menjadi kenangan yang tersimpan rapi di otakku.
Aku bukannya tidak bisa move on dari kamu, aku hanya butuh waktu. Kau tau melupakan orang yang benar-benar kita cinta tak semudah yang dikira, tidak seperti kamu yang baru seminggu putus denganku sudah memiliki pacar baru. Di dalam artikel “The 5 stages of Grieving The End of Relationship” oleh Jennifer Kromberg disebutkan ada 5 tahap yang dilalui seseorang yang sedang berduka (grieving) karena berakhirnya sebuah hubungan; yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).
Aku menangis, bukan karena aku menyesali semua yang telah terjadi, tidak, aku tidak akan menyesal. Aku menangis karena bersyukur bahwa semua itu telah terjadi. Maka lebih baik patah hati, dari pada tidak sama sekali.


Tertanda,
Orang yang berjiwa kuat.




No comments:

Post a Comment