Monday, February 26, 2018

Surat untuk Februari

Pada jiwa yang kusebut cinta,
Apa kabar?
Sudah sebulan lebih atau mungkin dua bulan atau entahlah berapa lama, perhitunganku tak tepat karena rasanya sudah sangat lama kita tak jumpa
dan selama itu kau menghilang dari peredaranku
Mengapa tiba-tiba sikapmu seperti itu?
Dingin. Aku coba bertanya A, kau jawab sekenanya.
Aku berikan B, kau meresponnya biasa saja.
Ada apa? Apakah aku ada salah padamu?
Tahukah kamu, aku hanya rindu. Ah persetan dengan rindu yang menggebu.
Tidakkah kau merasakan hal yang sama sepertiku?
Kurasa tidak! Semenyedihkan itu, aku hanya rindu sendiri, rinduku tak berbalas!
Inginku menangis berteriak hingga histeris.
Namun, apakah kau akan mendengarnya?
Kurasa tidak! kau telah berlalu jauh... dan aku masih menunggu di sini.
Biarlah, biar kupendam saja.
Sakit. Sakit sekali rasanya. Benar cintakah kamu?
Lalu kau menjawab;”maaf aku sudah tidak ada rasa lagi padamu.”
Kuburkanlah saja aku ini dengan ketidakbahagianku! Aku ingin hilang.
Biarlah aku hargai segala keputusanmu, ajarkan aku tentang bab mengikhlaskan dan juga tentang sabar.
Berikan aku waktu untuk mencerna segalanya, ini semua terlalu cepat terjadi dan rasaku padamu belum usai...
Izinkan aku untuk menyimpan rasa ini dan biarkan aku selalu menyebut namamu di doaku.
Seperti kata Pramoedya; “Dan pada akhirnya kasih sayang adalah juga benda...”
“Dan terima kasih atas februari yang basah, yang lekat wewangian hujan menciumi tanah.”
Terima kasih aku ucapkan padamu karena kamu adalah jiwa baik yang selalu membuatku mengagumimu dalam diamku.
Dan aku, sistem limbik otakku tidak akan lupa bagaimana rasa itu pertama kali muncul menawarkan kebahagiaan yang tak terkira. Dan semuanya akan menjadi sebuah keabadian, maka kenanglah...


Baca Selengkapnya