Saturday, August 15, 2020

Surat untuk Agustus

Pertanyaanmu kala itu masih mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku mencari laki-laki lain! Bagaimana mungkin! Mengapa kau harus bertanya demikian? Apakah kau tahu bagaimana aku selama ini menjaga hati untuk siapa? Untuk siapa lagi kalau bukan untukmu!

Lantas mengapa kau merasa bingung? aku bingung mengapa kau bingung dan aku bingung mengapa aku harus bingung. 

Perasaan ini kurawat dengan kesabaran dan harapan-harapan baik, pun ku selalu berpikiran positif tentangmu. Apakah kau belum juga melihat tulusku? Mengapa kau meragukanku? 

Ya, memang ini pertanyaan retoris. Memantul ke arah diriku lagi karena kau belum juga akan menjelaskannya atau bahkan sama sekali tak berniat untuk menjelaskannya. Pada akhirnya aku yang harus merenung dan merefleksikannya.

Kenyataan bahwa tidak (lagi) dicintai oleh orang yang dicinta membuat terbentuknya sebuah rasa sadar diri yang menggiring pada keadaan yang tidak baik-baik saja. Mungkin akan berpura-pura menjadi terlihat baik-baik saja agar dilabeli sebagai manusia kuat. 

Aku menyadari bahwa ada alasan di balik segala sikapmu, aku mengerti bahwa segala sesuatu terjadi pasti ada penyebabnya. Komunikasi memang penting agar tidak terjadi sebuah kesalapahaman, namun aku mengerti bahwa tidak segala hal bisa diceritakan dan ada hal yang memang belum bisa dijelaskan saat ini, maka yang hanya bisa dilakukan adalah bersabar sampai kau bisa berbagi cerita.

Dalam kebingungan yang melingkupi pikiran, dalam renungan yang panjang, dalam kesendirian. Aku teringat saat kau bercerita tentang kisah di masa lalumu. Kini aku paham bahwa memang masih ada memorimu tentang seseorang dari masa lalu yang pernah menghiasi hari-harimu. Aku mengerti hatimu pasti sakit sekali. Kini, biar kuberi sedikit kata-kata; tahukah kamu bahwa tahap mencintai yang paling tinggi adalah saat kau bisa mengikhlaskan kepergian seseorang entah itu berpisah karena maut atau dia pergi meninggalkanmu demi seseorang pilihannya yang membuatnya lebih bahagia. 

Selamat menikmati kesakitan yang tak bisa kau tahan. Selamat menikmati kehampaan yang tak berujung. Selamat menikmati tangisan yang tak lagi bersuara.

Namun, satu hal yang harus kau tahu bahwa kesedihanmu jangan berlarut-larut. Kebahagianmu ada pada dirimu sendiri, bukan pada entitas lain. Tersenyumlah dan bangkitlah. Bersyukurlah karena kau layak dicinta. 

Dalam ruang kedap rasa, semoga kamu mengerti bahwa aku begitu berarti. 


Baca Selengkapnya