Juni 2050,
Aku membuka kotak berwarna biru yang tersimpan rapi di atas lemari. Tampak dari luar, kotak ini berdebu dan usang. Ku buka dan ku lihat banyak kertas didalamnya dan beberapa benda yang tampak rapuh. Ku buka dan ku baca salah satu surat tertulis bulan Juni untuk bab memeluk rasa sakit.
Tentang Memeluk Rasa Sakit
Surat
Untuk Juni
Cirebon, 3-4
Juni 2017
Bonjour
Juin!
Apa
kabar? Juni bagiku punya arti sendiri, tidak terasa kini sudah juni lagi. Juni
datang dengan suasana yang berbeda dan siap menerima kenangan yang baru. Awal Juni
kali ini disambut dengan rintik hujan di pagi hari dan semilir angin dingin,
semerbak menebar wangi rindu.
Biarkan
aku bertanya satu hal padamu, Juni : Bertemukah kau dengan sang puas dan atau
benar senangkah rasa hatimu?
Dan
biarkan aku memberikan satu pernyataan padamu, Juni : Non, rien de rien. Non,
je ne regrette rien. Ni le bien qu’on m’a fait. Ni le mal; tout ca m’est bien
egal.
Aku tiba
di Stasiun Cirebon Prujakan siang ini dengan menggunakan kereta yang sama
seperti setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu, tahun penuh warna, tahun
penuh kebahagiaan. Entah mengapa kini pulang menjadi berbeda, pulang kini
mengiris tajam dihatiku, perih, ngilu, ah semua itu tak lain karena disebabkan
oleh kamu.
Ketika
kini ku sadari bahwa kita tak lagi seperti dulu, bahwa diri kita telah terpisah
jauh, bukan tubuh saja melainkan juga hati. Mengingat semua itu membuatku ingin
menangis, bukan karena aku cengeng, ah ya mungkin saja bagimu aku cengeng,
berlebihan dan apalah itu kata yang sepadan untuk menggambarkan tabiatku.
Terlebih dari semua itu, mengingat kenangan kita yang pernah kita ciptakan
bersama saat dulu membuatku seperti mengelupas bekas luka yang belum kering,
perih, perih sekali.
Mengapa juga
ini semua terjadi? Katamu, kau akan menunggu di titik 250? Katamu, kita akan
bertemu lagi di stasiun kereta api? Katamu, katamu hanya kekata saja tanpa
makna. Kamu spesies penghianatkah? Ya, penghianat kelas kakap, pembual nomer
satu.
Kejadian hari
ini membuatku merasakan déjà vu, karena tepat di tanggal 4 setahun yang lalu untuk
pertama kalinya bertemu setelah dua tahun terpisah. Dengan menaiki kereta yang
sama dan waktu yang sama membuatku seperti melihat ke belakang, ini mimpikah? Aku
masih belum percaya bahwa pada akhirnya kita berpisah juga. Sepanjang perjalanan
ini aku bertanya-tanya, ah resiko aku saja yang memang memiliki ingatan tajam
sehingga semua memori tentangmu tak bisa ku lupa. Mengapa juga pada akhirnya kita
berpisah? Mengapa kamu yang dulu mencintaiku kini berpaling dariku? Apakah dulu
kau tak benar-benar mencintaiku? Namun, ku lihat dari matamu kala itu terpancar
ketulusan. Lantas, mengapa kamu berubah begitu cepat? Wanita penggoda seperti
apa yang berhasil mengalihkan aku dari hatimu? Lebih baikkah dia dariku? Ku rasa
tidak. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan menjadi wanita seperti
itu yang dengan seenaknya merebut kebahagiaan perempuan lain. Jika aku berkata
demikian, maka kau akan membela wanita itu yang saat ini sudah menjadi
kekasihmu. Ah payah! Lalu aku apa? Bedebah! Persetan dengan semua itu! Seseorang
pernah berkata bahwa;”sebodoh-bodohnya kamu, jangan pernah rendahkan dirimu
dengan merusak hubungan orang lain.” Maka, ku akan pegang teguh prinsip itu.
Ku juga
pegang teguh prinsip tentang kepemilikan bahwa walaupun aku tak bisa memiliki
apa yang aku mau, setidaknya aku tidak mati-matian merebut milik orang lain.
Juni tak
lagi sama, juni telah memberi luka. Hujan di bulan juni benar-benar membuatku
terguguh, langit abu-abu dan angin yang membawa semilir rindu, ah nampaknya
alam benar-benar mengejekku. Juni tak seindah dulu, juni benar-benar kelabu
karena tak ada kamu, juni membawa nyanyian sendu. Bahwa apakah kamu tahu tadi
saat keretaku sampai, aku mengingat kejadian setahun yang lalu saat aku
malu-malu bertemu denganmu. Kau tahu, kejadian tersebut seperti diputar kembali
dan aku menyaksikan kita yang dulu. Mengapa aku begini? Imajinasiku yang
terlalu tinggi atau kau dan kenangan kita masih terekam dan bertahta di sistem limbik
otakku? Ku rasa itu perpaduan keduanya.
Aku ingin
menangis, berteriak sampai histeris. Ini tidak adil! Teramat sangat tidak adil.
Mengapa kau menghianatiku? Mengapa kau mengingkari janjimu? Mengapa kau menelan
ludahmu? Mengapa dan mengapa, tanpa ku tahu apa jawabnya. Tempat ini menyimpan
banyak kenangan, tentang pertemuan dan perpisahan kita yang ku pikir itu bukan
perpisahan.
Aku rindu,
sangat rindu, namun aku tidak pantas untuk merindukanmu karena kau bukan
milikku. Namun, aku juga berhak merindukanmu, selama kau belum sah menjadi
miliknya. Ku merindukan juni kita yang penuh cerita, yang penuh canda tawa,
yang bahagia, yang penuh dengan... cinta. Juni dimana kita tertawa, tersipu
malu, menghabiskan waktu, memandang langit malam yang dihiasi padang bulan, ah
ingatkah kamu? Kala itu sungguh indah, hingga alam pun bersuka cita. Aku tidak
akan pernah melupakannya, biar saja itu semua menjadi kenangan yang tersimpan
rapi di otakku.
Aku bukannya
tidak bisa move on dari kamu, aku hanya butuh waktu. Kau tau melupakan orang
yang benar-benar kita cinta tak semudah yang dikira, tidak seperti kamu yang
baru seminggu putus denganku sudah memiliki pacar baru. Di dalam artikel “The 5
stages of Grieving The End of Relationship” oleh Jennifer Kromberg disebutkan
ada 5 tahap yang dilalui seseorang yang sedang berduka (grieving) karena
berakhirnya sebuah hubungan; yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).
Aku menangis,
bukan karena aku menyesali semua yang telah terjadi, tidak, aku tidak akan
menyesal. Aku menangis karena bersyukur bahwa semua itu telah terjadi. Maka lebih
baik patah hati, dari pada tidak sama sekali.
Tertanda,
Orang
yang berjiwa kuat.