Orang
bijak berkata, “Mencintai itu tak perlu melumpuhkan logika”, kata-kata itu ku
dapat dari seorang motivator kondang negeri ini dan kata-kata tersebut selalu
kuingat dalam benakku, lalu kusimpan rapih dalam memori. Entah dorongan apa
yang membuatku melakukan hal itu, mungkin karena aku tertarik pada si pemberi
motivasi hingga sampai saat ini pun aku masih memegang teguh prinsip itu.
Tiba-tiba…
hatiku membuncah, pipiku bersemburat merah, bak ada ribuan bunga menghujani
diriku, ini sangat berbeda! Tak pernah hatiku merasa lain, belum pernah kurasa!
Tuhan… rasa apa ini? Kenapa aku bahagia ketika kurasa dia teramat dekat, ketika
jarak yang memisahkan tak lagi menghambat, ketika perbedaan tak lagi jadi
penghalang, ketika ku sadari belakangan ini aku bisa tersenyum ceria karenanya,
ketika ku sadari kebahagian ini bersumber darinya, ketika ku merasa semangat
yang menghiasi hariku karenanya dan ketika ku tahu serta ku sadari bahwa aku
mulai j a t u h c i n t a . . .
Tuhan
Yang Maha Cinta, Kau lah pencipta rasa dalam dada yang menyesakkan seketika
namun memberikan kebahagiaan yang tak terkira. Sang cinta… rasa ini begitu
nyata, ketika ku ingat wajahnya, ketika ku ingat senyumnya, ketika ku ingat
sikapnya dan ketika dia mulai memberikan perhatian kepadaku, oh Sang Maha
Cinta… itu sangat menggelikan ketika Kau hadirkan dia dalam hidupku, lalu aku
dan dia bertemu dalam ruang dan waktu, setelah itu Kau lebih mendekatkan ku
dengan dia, ku temukan dia berbeda, dia sang pembeda, lalu ku menyukai yang berbeda
itu, adalah dia!
Aku
tak mengakui aku jatuh cinta, awalnya karena aku masih berdiri tegak dengan
prinsipku “Cinta itu harus ada logikanya” ungkapku suatu ketika, maka jika
logika matematika berbunyi : “jika dia mencintaimu, maka dia akan melakukan tindakan
yang nyata”, jika dia tak melakukan tindakan nyata, kesimpulannya adalah…?
Kalian pasti tau jawabannya, maka tak heran jika kita sering mendengar kata
seperti ini “Mengetahui kita dicintai memberikan kita kekuatan, mengetahui kita
mencintai memberikan kita keberanian.” Tapi ku dengar sang pujangga pernah
berkata “Cinta itu tak ada logika,” masa iya? Tanyaku pada diri sendiri. Aku
tak percaya, oh tidak lebih tepatnya aku belum percaya.
Aku
berada dalam ruang sederhana yang hanya ditemani lampu meja, hatiku gundah!
Sang Maha Cinta… aku merindukannya, yah aku rindu orang yang kau hadirkan
dihari-hariku, yang bertemu bukan karena ketidaksengajaan tetapi karena sebuah
takdir. Kemudian rasa itu berdesir dalam hati seperti hembusan angin dimusim
kemarau yang terasa kering, tiba-tiba hatiku merasakan takut lalu otakku
merespon menghasilkan sebuah pertanyaan, “apakah dia yang kurindu merasakan
rindu juga?” Sang Maha Cinta… sungguh ku tak tau jawaban dari pertanyaanku, aku
masih terdiam diruangan yang hampir gelap, merenungi pertanyaanku lalu aku
bermain dengan logikaku, “apakah ini rasa cinta? Apakah cinta berkorelasi
dengan gundah?” kucoba menerka-nerka mencari relasi dari cinta dan logika,
namun aku lelah… agaknya ini sangat sulit! Tuhan… sesungguhnya Engkaulah Sang
Maha Cinta, cinta-Mu luas tak terbatas, Engkaulah pencipta rasa dalam hatiku,
rasa rinduku, rasa cintaku padanya, Tuhan… logika dalam fikiranku tak ada
apa-apanya dibandingkan logika-Mu dan kusadari itu. Cinta ini bukan seperti
logika matematika yang bermain dengan kata-kata maupun angka, cinta ini murni
dari dalam hati yang ketika kau merasakan cinta otak logika mu lumpuh seketika.
Cinta ini seperti relasi dan fungsi, yang mencintai bagai sang fungsi yaitu ia
sudah pasti mencintai relasi, tapi relasi belum tentu mencintai sang fungsi,
dan yang perlu diingat lagi dalam ilmu ekonomi cinta itu harus seperti barang
komplementer yaitu sebagai barang pelengkap bukan seperti barang substitusi
yang hanya sebagai pengganti. Miris! Aku mencintainya dalam sebuah
ketidakpastian, namun hatiku ingin memilikinya! Dalam hal ini ku ketahui cinta
itu egois! Ini tidak sesuai dengan logika bukan? Oke fix aku mulai percaya
cinta memang tak ada logika, tak berkorelasi dengan takdir, yah memenag benar
aku sadari. Dikesendirian dalam cahaya yang remang ku sadari satu hal, cinta
ini melumpuhkan logikaku… lalu aku hanya bisa menuntut pada Tuhan, “Kumohon,
aku ingin yang kucinta mencintaiku pula! Sampaikan padanya Tuhan…”
Sang
Maha Cinta juga Maha Mendengar, sudah pasti do’aku didengar. Lalu diantara 2
bulir tetesan bening yang mengalir di dua belah pipiku, aku menemukan secercah
harapan baru ketika ku bayangkan senyumannya, wajahku pun melengkungkan
senyuman indah lalu ku bergumam pelan “Aku yakin. Aku pasti bisa menyentuh hatinya!”
J
Kau
adalah matahariku… boku wa ganbaru!
#End
No comments:
Post a Comment