Pada jiwa yang kusebut cinta,
Apa kabar?
Sudah sebulan lebih atau mungkin
dua bulan atau entahlah berapa lama, perhitunganku tak tepat karena rasanya
sudah sangat lama kita tak jumpa
dan selama itu kau menghilang
dari peredaranku
Mengapa tiba-tiba sikapmu seperti
itu?
Dingin. Aku coba bertanya A, kau
jawab sekenanya.
Aku berikan B, kau meresponnya
biasa saja.
Ada apa? Apakah aku ada salah
padamu?
Tahukah kamu, aku hanya rindu. Ah
persetan dengan rindu yang menggebu.
Tidakkah kau merasakan hal yang
sama sepertiku?
Kurasa tidak! Semenyedihkan itu,
aku hanya rindu sendiri, rinduku tak berbalas!
Inginku menangis berteriak hingga
histeris.
Namun, apakah kau akan
mendengarnya?
Kurasa tidak! kau telah berlalu
jauh... dan aku masih menunggu di sini.
Biarlah, biar kupendam saja.
Sakit. Sakit sekali rasanya. Benar
cintakah kamu?
Lalu kau menjawab;”maaf aku sudah
tidak ada rasa lagi padamu.”
Kuburkanlah saja aku ini dengan
ketidakbahagianku! Aku ingin hilang.
Biarlah aku hargai segala
keputusanmu, ajarkan aku tentang bab mengikhlaskan dan juga tentang sabar.
Berikan aku waktu untuk mencerna
segalanya, ini semua terlalu cepat terjadi dan rasaku padamu belum usai...
Izinkan aku untuk menyimpan rasa
ini dan biarkan aku selalu menyebut namamu di doaku.
Seperti kata Pramoedya; “Dan pada
akhirnya kasih sayang adalah juga benda...”
“Dan terima kasih atas februari
yang basah, yang lekat wewangian hujan menciumi tanah.”
Terima kasih aku ucapkan padamu karena kamu adalah jiwa baik yang selalu membuatku mengagumimu dalam diamku.
Dan aku, sistem limbik otakku
tidak akan lupa bagaimana rasa itu pertama kali muncul menawarkan kebahagiaan
yang tak terkira. Dan semuanya akan menjadi sebuah keabadian, maka kenanglah...