Tuesday, July 8, 2014

Cinta dan Logika






Orang bijak berkata, “Mencintai itu tak perlu melumpuhkan logika”, kata-kata itu ku dapat dari seorang motivator kondang negeri ini dan kata-kata tersebut selalu kuingat dalam benakku, lalu kusimpan rapih dalam memori. Entah dorongan apa yang membuatku melakukan hal itu, mungkin karena aku tertarik pada si pemberi motivasi hingga sampai saat ini pun aku masih memegang teguh prinsip itu.
Tiba-tiba… hatiku membuncah, pipiku bersemburat merah, bak ada ribuan bunga menghujani diriku, ini sangat berbeda! Tak pernah hatiku merasa lain, belum pernah kurasa! Tuhan… rasa apa ini? Kenapa aku bahagia ketika kurasa dia teramat dekat, ketika jarak yang memisahkan tak lagi menghambat, ketika perbedaan tak lagi jadi penghalang, ketika ku sadari belakangan ini aku bisa tersenyum ceria karenanya, ketika ku sadari kebahagian ini bersumber darinya, ketika ku merasa semangat yang menghiasi hariku karenanya dan ketika ku tahu serta ku sadari bahwa aku mulai j a t u h c i n t a . . .
Tuhan Yang Maha Cinta, Kau lah pencipta rasa dalam dada yang menyesakkan seketika namun memberikan kebahagiaan yang tak terkira. Sang cinta… rasa ini begitu nyata, ketika ku ingat wajahnya, ketika ku ingat senyumnya, ketika ku ingat sikapnya dan ketika dia mulai memberikan perhatian kepadaku, oh Sang Maha Cinta… itu sangat menggelikan ketika Kau hadirkan dia dalam hidupku, lalu aku dan dia bertemu dalam ruang dan waktu, setelah itu Kau lebih mendekatkan ku dengan dia, ku temukan dia berbeda, dia sang pembeda, lalu ku menyukai yang berbeda itu, adalah dia!
Aku tak mengakui aku jatuh cinta, awalnya karena aku masih berdiri tegak dengan prinsipku “Cinta itu harus ada logikanya” ungkapku suatu ketika, maka jika logika matematika berbunyi : “jika dia mencintaimu, maka dia akan melakukan tindakan yang nyata”, jika dia tak melakukan tindakan nyata, kesimpulannya adalah…? Kalian pasti tau jawabannya, maka tak heran jika kita sering mendengar kata seperti ini “Mengetahui kita dicintai memberikan kita kekuatan, mengetahui kita mencintai memberikan kita keberanian.” Tapi ku dengar sang pujangga pernah berkata “Cinta itu tak ada logika,” masa iya? Tanyaku pada diri sendiri. Aku tak percaya, oh tidak lebih tepatnya aku belum percaya.
Aku berada dalam ruang sederhana yang hanya ditemani lampu meja, hatiku gundah! Sang Maha Cinta… aku merindukannya, yah aku rindu orang yang kau hadirkan dihari-hariku, yang bertemu bukan karena ketidaksengajaan tetapi karena sebuah takdir. Kemudian rasa itu berdesir dalam hati seperti hembusan angin dimusim kemarau yang terasa kering, tiba-tiba hatiku merasakan takut lalu otakku merespon menghasilkan sebuah pertanyaan, “apakah dia yang kurindu merasakan rindu juga?” Sang Maha Cinta… sungguh ku tak tau jawaban dari pertanyaanku, aku masih terdiam diruangan yang hampir gelap, merenungi pertanyaanku lalu aku bermain dengan logikaku, “apakah ini rasa cinta? Apakah cinta berkorelasi dengan gundah?” kucoba menerka-nerka mencari relasi dari cinta dan logika, namun aku lelah… agaknya ini sangat sulit! Tuhan… sesungguhnya Engkaulah Sang Maha Cinta, cinta-Mu luas tak terbatas, Engkaulah pencipta rasa dalam hatiku, rasa rinduku, rasa cintaku padanya, Tuhan… logika dalam fikiranku tak ada apa-apanya dibandingkan logika-Mu dan kusadari itu. Cinta ini bukan seperti logika matematika yang bermain dengan kata-kata maupun angka, cinta ini murni dari dalam hati yang ketika kau merasakan cinta otak logika mu lumpuh seketika. Cinta ini seperti relasi dan fungsi, yang mencintai bagai sang fungsi yaitu ia sudah pasti mencintai relasi, tapi relasi belum tentu mencintai sang fungsi, dan yang perlu diingat lagi dalam ilmu ekonomi cinta itu harus seperti barang komplementer yaitu sebagai barang pelengkap bukan seperti barang substitusi yang hanya sebagai pengganti. Miris! Aku mencintainya dalam sebuah ketidakpastian, namun hatiku ingin memilikinya! Dalam hal ini ku ketahui cinta itu egois! Ini tidak sesuai dengan logika bukan? Oke fix aku mulai percaya cinta memang tak ada logika, tak berkorelasi dengan takdir, yah memenag benar aku sadari. Dikesendirian dalam cahaya yang remang ku sadari satu hal, cinta ini melumpuhkan logikaku… lalu aku hanya bisa menuntut pada Tuhan, “Kumohon, aku ingin yang kucinta mencintaiku pula! Sampaikan padanya Tuhan…”
Sang Maha Cinta juga Maha Mendengar, sudah pasti do’aku didengar. Lalu diantara 2 bulir tetesan bening yang mengalir di dua belah pipiku, aku menemukan secercah harapan baru ketika ku bayangkan senyumannya, wajahku pun melengkungkan senyuman indah lalu ku bergumam pelan “Aku yakin. Aku pasti bisa menyentuh hatinya!” J
Kau adalah matahariku… boku wa ganbaru!
#End


No comments:

Post a Comment